Menjadi Kaya Itu Bukan Dosa: Refleksi Ekonomi Umat Islam Bersama Dr. Muhammad Syafi’i Antonio

Aug 26, 2025 - 19:15
Aug 26, 2025 - 19:22
 0  7
Menjadi Kaya Itu Bukan Dosa: Refleksi Ekonomi Umat Islam Bersama Dr. Muhammad Syafi’i Antonio

Banyak dari kita mungkin masih menyimpan keraguan: apakah menjadi kaya itu selaras dengan ajaran Islam? Bukankah zuhud artinya meninggalkan dunia? Bukankah orang miskin lebih cepat masuk surga? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering muncul, bahkan diwariskan dari generasi ke generasi.

Dalam sebuah perbincangan hangat bersama Helmy Yahya, Dr. Muhammad Syafi’i Antonio—seorang akademisi, praktisi bisnis, sekaligus pakar ekonomi syariah—menjawab persoalan ini dengan lugas. Beliau menegaskan: menjadi kaya bukan dosa, bahkan bisa jadi kewajiban bagi seorang muslim.


Salah Kaprah tentang Zuhud dan Cinta Dunia

Menurut Dr. Syafi’i, banyak umat salah memahami konsep zuhud. Zuhud sering dianggap berarti menjauhi dunia, padahal yang benar adalah mengendalikan dunia agar tidak menghalangi ibadah.

Contohnya, ketika harta dipakai untuk membangun masjid, memberikan beasiswa, atau membantu fakir miskin, maka dunia justru menjadi jalan menuju surga.

Begitu pula dengan hubud dunya atau cinta dunia. Mustahil manusia tidak mencintai dunia—orang tua, anak, masjid, sekolah, semua bagian dari dunia. Yang tercela adalah cinta dunia dengan cara haram: menipu, merampas, atau merusak. Tapi jika mencintainya lewat jalan halal, cinta dunia justru bernilai ibadah.


Nabi Muhammad SAW: Pedagang dan Pemimpin

Satu hal yang sering kita lupakan: Rasulullah SAW berdagang selama 27 tahun, sementara masa kenabiannya hanya 23 tahun. Artinya, beliau lebih lama menjadi entrepreneur daripada menjadi nabi.

Mengapa? Karena kemandirian finansial adalah syarat penting untuk bisa menyampaikan kebenaran dengan bebas. Jika kita bergantung pada proyek atau dana seseorang, kita tidak akan berani menegur meski orang itu salah. Rasulullah mencontohkan bahwa seorang muslim harus mandiri, mampu berbisnis, dan tetap amanah.

Ada hadis sahih yang menyebutkan: “Pedagang yang jujur dan amanah kelak akan bersama para nabi, syuhada, dan orang saleh di surga.” Itu menunjukkan betapa mulianya profesi entrepreneur dalam Islam.


Tiga Masalah Besar Ekonomi Umat

Dr. Syafi’i menyebut ada tiga “garis masalah” yang membuat umat Islam relatif tertinggal dalam bidang ekonomi:

  1. Filosofis – Banyak umat salah kaprah memandang kekayaan sebagai sesuatu yang buruk. Padahal, tanpa kekayaan, sulit bagi umat untuk membangun masjid yang layak, membiayai pendidikan, atau menjalankan rukun Islam seperti zakat dan haji.

  2. Teknis – Banyak usaha umat gagal bukan karena kurang modal, tapi karena kurang ilmu. Bisnis butuh pengetahuan marketing, manajemen keuangan, SDM, hukum, hingga IT. Rasulullah pernah bersabda: “Allah mencintai hamba yang ketika bekerja, ia menekuninya dengan sebaik-baiknya.” Profesionalisme adalah bagian dari iman.

  3. Politis – Umat butuh dukungan regulasi dan kebijakan afirmatif. Negara harus menghadirkan kepastian hukum, kemudahan izin usaha, dan perlindungan dari pungli atau ormas liar. Dr. Syafi’i mencontohkan bagaimana investor asing lebih percaya masuk ke Vietnam dan Malaysia daripada Indonesia, karena regulasi kita belum ramah investasi.


Kaya Itu Wajib, dengan Tiga Syarat

Menjadi kaya dalam Islam bukan sekadar boleh, tapi bisa jadi wajib. Alasannya sederhana: dengan kaya, kita bisa menolong orang lain, menciptakan lapangan kerja, dan tidak bergantung pada orang lain.

Namun, ada tiga syarat penting agar kekayaan kita bernilai ibadah:

  1. Halal – Tidak menabrak hukum, tidak merusak lingkungan, dan tidak menzalimi orang lain.

  2. Tidak sombong – Ingat, semua harta hanyalah titipan Allah.

  3. Berbagi – Zakat, sedekah, dan wakaf adalah jalan memperluas manfaat kekayaan.

Menariknya, teladan ini justru sudah dipraktikkan oleh filantrop dunia seperti Bill Gates, Warren Buffet, dan Mark Zuckerberg. Meski bukan muslim, mereka kaya dengan cara yang benar, sederhana, dan gemar berbagi.


Teori 25 Banding 900: Ibadah Lebih dari Sekadar Salat

Salah satu poin menarik dari Dr. Syafi’i adalah teori 25 banding 900.

  • Ibadah ritual (salat lima waktu) totalnya hanya sekitar 25 menit per hari.

  • Aktivitas mencari nafkah bisa mencapai 900 menit (15 jam).

Artinya, yang benar-benar perlu “disyariahkan” adalah aktivitas 900 menit itu. Bekerja, berdagang, mengelola bisnis, mengajar, membangun proyek—semuanya bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah dan dilakukan dengan profesional.

Inilah yang dimaksud Islam sebagai way of life. Ibadah bukan hanya di masjid, tapi juga di kantor, di pasar, di ladang, bahkan di ruang rapat.


Apa yang Harus Kita Lakukan?

Sebagai umat Islam yang mayoritas di Indonesia, kita punya potensi luar biasa. Jika umat menjadi kaya secara kolektif, Indonesia akan lebih sejahtera. Pajak lebih besar, zakat melimpah, dan dakwah lebih kuat.

Dr. Syafi’i memberi tiga resep sederhana:

  1. Ubah mindset – kekayaan adalah sarana ibadah, bukan dosa.

  2. Tingkatkan skill – kuasai ilmu bisnis, ambil sertifikasi, pelajari teknologi.

  3. Dukung kebijakan baik – dorong pemerintah, DPR, gubernur, bupati, hingga wali kota untuk membuat regulasi yang memajukan masyarakat, bukan sekadar kepentingan politik.


Penutup

Menjadi kaya bagi seorang muslim bukanlah pilihan pinggiran, tapi bisa menjadi kewajiban. Syaratnya: halal, tidak sombong, dan mau berbagi. Dengan itu, kita bukan hanya mengangkat diri sendiri, tapi juga keluarga, masyarakat, bahkan bangsa.

Seperti kata Rasulullah: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.”

Jadi, sudah saatnya umat Islam mengubah mindset: kaya itu ibadah, miskin itu bukan tujuan.Berikut Video Cuplikasnnya yang saya buat konten ini

 

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow